Perspektif kritis MDGs Bidang kesehatan
Latar Belakang
Delapan program MDGs yang disepakati oleh 189 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai program bersama, memberi ruang yang sangat luas bagi setiap negara untuk berpacu melakukan pembenahan-pembenahan internal. Delapan program MDGs tersebut adalah memberantas kelaparan dan kemiskinan yang ekstrim, memperoleh pendidikan dasar, mempromosikan persamaan gender dan pemberdayaan perempuan, mengurangi jumlah kematian anak, meningkatkan kesehatan maternal (kesehatan ibu), memerangi infeksi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya, menjamin kelangsungan lingkungan hidup, mengembangkan kerjasama global untuk pembangunan (puskel.com).
Dari delapan program tersebut tiga diantaranya adalah program yang berkaitan dengan bidang kesehatan, lebih khususnya adalah kesehatan ibu dan anak. Tiga fakta program MDGs tersebut memberikan gambaran kepada kita bahwa kebijakan pembangunan di dunia secara umum, secara mainstream kurang memperhatikan dua kelompok sosial penting yaitu ibu dan anak sebagai orientasi utama dalam pembangunan. Maraknya kekerasan dalam rumah tangga baik terhadap ibu maupun anak, pelibatan anak dalam pekerjaan sektor informal, peran ganda perempuan yang seringkali tidak memberi ruang kepada perempuan merepresentasikan dirinya, prostitusi perempuan, pekerja perempuan yang terpaksa harus bekerja ke luar negeri untuk menjadi tiang penyangga ekonomi keluarga, dan masih banyak lagi peta masalah yang melekat kepada perempuan, semakin memberikan gambaran secara jelas bahwa program MDGs untuk memberi ruang kepada ibu dan anak berperan maksimal adalah keniscayaan.
Indonesia sebagai salah satu negara yang menyepakati program MDGs tersebut, harus bekerja ekstra keras agar tujuan program MDGs bidang kesehatan bisa tercapai. Artikel ini mencoba memberikan gambaran singkat tentang program MDGs bidang kesehatan.
Komitmen Indonesia dalam Mencapai MDGs Bidang Kesehatan
Indonesia mempunyai komitmen yang tinggi terhadap program MDGs di bidang kesehatan. Hal ini terlihat dari respon kementerian kesehatan yang langsung membuat kebijakan tambahan di bidang kesehatan. Melalui program Ditjen Bina Kesmas, Kementerian Kesehatan RI menambah lima tambahan sasaran utama MDGs yaitu meningkatkan cakupan antenatal, meningkatkan cakupan persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih, meningkatkan cakupan neonatal, meningkatkan prevalensi kurang gizi pada balita, dan meningkatkan tingkat kunjungan penduduk miskin ke puskesmas (wartapedia.com).
Komitmen tersebut mengerucut lewat sosialisasi ke masyarakat yang bersifat cukup masif. Media oleh pemerintah dijadikan agen sosialisasi penting pemaksimalan keberhasilan program. Contohnya adalah iklan layanan masyarakat tentang Jampersal (jaminan persalinan) gratis yang ditayangkan secara berulang di media televisi. Tokoh masyarakat maupun artis juga dilibatkan dalam program penyadaran pentingnya kesehatan. Posyandu (pusat pelayanan terpadu) dihidupkan kembali dan dijadikan tempat untuk media sosialisasi program MDGs.
Komitmen terhadap posyandu tersebut dalam tafsir sosiologis pada dasarnya adalah keinginan dari pengambil kebijakan menjadikan posyandu sebagai pusat hubungan sosial, selain PKK dan arisan ibu-ibu. Dengan semakin banyaknya pusat hubungan sosial memudahkan sebuah kebijakan disosialisasikan dan kemungkinan untuk direalisasikan. Dalam tafsir sosiologis pusat hubungan sosial pada dasarnya adalah ruang dimana setiap individu bisa melakukan interaksi dengan memproduksi subjektifitas diri. Subjektifitas diri dipahami bahwa orang merasa untuk tidak sungkan atau ewuh pakewuh saat berinteraksi dengan orang lain. Ketika sebuah ruang (sebagai contoh posyandu) sudah dalam pemahaman membangkitkan relasi subjektif individu, bisa dipahami jika identifikasi kelompok sosial sebenarnya sudah cukup kuat. Implikasinya adalah komitmen kelompok menjadi bagian penting saat mereka membangun relasi sosial. Sehingga apapun kebijakan bersama akan lebih mudah dilakukan. Saat posyandu yang nota bene adalah ruang sosialisasi kesehatan bisa mengerucut menjadi pusat hubungan sosial, pada saat tersebut sejatinya program kesehatan bisa dilakukan dengan baik.
Komitmen lain dari pemerintah adalah pada tahun 2011, kementerian kesehatan telah menetapkan kebijakan bahwa semua persalianan harus dilakukan oleh tenaga kesehatan terlatih dan memulai program jampersal (jaminan persalinan), yaitu suatu paket yang mencakup pelayanan antenatal, persalinan, posnatal dan kelarga berencana . Dalam bidang strategi pengendalian HIV/AIDs yang dilakukan oleh pemerintah adalah penguatan Pokja AIDS sektor kesehatan, penguatan kapasitas manajemen dan teknis program di semua tingkatan, Penguatan/pengembangan sistem informasi dan surveilans, pengembangan kolaborasi TB-HIV, penguatan sistem distribusi logistik, penerapan PITC (Provider Initiative Testing and Counseling), dan pengembangan fasilitas layanan konseling, diagnostik dan pengobatan (wartapedia.com).
Capaian Saat Ini
Jika kita melihat pencapaian MDGs bidang kesehatan ada lonjakan prestasi yang menggembirakan, walaupun masih cukup jauh dari harapan yang dicanangkan oleh MDGs bidang kesehatan pada tahun 2005. Dalam wartapedia.com, Target MDGs 4 yang berkaitan dengan penurunan kematian balita. Di Indonesia angka kematian balita, bayi dan neonatal terus mengalami penurunan. Data Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 menunjukkan angka kematian balita sebesar 44/1000, angka kematian bayi 43/1000, dan angka kematian neonatal 19/1000. Data ini masih belum sesuai harapan dari target MDGs 4 di tahun 2015 yaitu mengurangi dua per tiga tingkat kematian anak-anak usia di bawah 5 tahun.
Sementara itu target MDGs 5 terkait dengan penurunan Angka Kematian Ibu (AKI). Masih dari wartapedia.com, bahwa indikator AKI merupakan salah satu indikator yang diramalkan sulit dicapai. Tidak hanya di Indonesia akan tetapi bi banyak negara berkembang di dunia. Data terakhir pada 2007 menunjukkan AKI sebesar 228/100.000 kelahiran hidup, masih jauh dari target MDGs sebesar 102/100.000 kelahiran hidup.
Untuk target MDGs 6 yang terkait dengan penyakit HIV/AIDS, TB, dan malaria. Jumlah kasus HIV yang masuk perawatan mengalami peningkatan, tahun 2010 sebanyak 15.275 orang. Sedangkan jumlah kasus AIDS pada tahun 2010 sebanyak 4.158 orang. Angka penemuan kasus TB (CDR), dan angka keberhasilan TB (SR) tahun 2009 sudah melampaui target MDGs tahun 2015. Sementara angka kesakitan malaria yang diukur dengan angka API (Annual Parasite Incidence) menunjukkan penurunan pada periode 5 tahun s/d 2010 menjadi angka 1,58. Angka ini telah mendekati target MDGs yang harus dicapai pada tahun 2015 (warta pedia.com).
Peran dari pemerintah, Swasta/NGO, Masyarakat
Respon cepat dengan mempetakan MDGs bidang kesehatan dalam program-program yang langsung menyasar kepada kebutuhan ibu dan anak menunjukkan bahwa pemerintah mencoba menempatkan program MDGs sebagai prioritas program. Ikut terlibat secara aktif masyarakat maupun NGO dalam MDGs bidang kesehatan, semakin memberi kesempatan kepada tiga kelompok sosial yang berbeda (Masyarakat, NGO dan pemerintah) berada dalam satu ruang bersama untuk bisa membangun soliditas kelompok. Sinergitas tersebut terlihat dari banyaknya ruang bersama yang dijadikan sarana untuk memproduksi bangunan nilai kolegial dalam atmosfir paguyuban (dalam bahasa Ferdinan Tonnies dipahami sebagai gameinscaft). Contoh, dihidupkannya kembali program posyandu pada dasarnya adalah menghidupkan relasi-relasi sosial dalam atmosfer informal. Pencanangan Toga (tanaman obat keluarga), sejatinya adal ah memproduksi dan menumbuhsuburkan kembali modalitas masyarakat (bisa dalam bentuk modal sosial, modal budaya, dll). Selain itu toga juga bisa dijadikan cara bagaimana model pemberdayaan bisa dilakukan dari lingkup terkecil (keluarga) dan bersifat individual maupun kolegial yang pada akhirnya menjadi nilai bersama (custom).
Analisa dan Rekomendasi
Dalam perspektif kritis, kebijakan pemerintah dalam bidang MDGs kesehatan seringkali cuma sebagai simbolisasi kekuatan negara mentrafsfer kebijakan (kekuasaan) yang cenderung by one traffic (satu arah). Apalagi jika dilihat lebih cermat bahwa delapan program tersebut memang peta masalah umum yang ada di negara berkembang sehingga harus dikhususkan untuk negara berkembang. Dengan kata lain, seakan-akan negara maju tidak pernah bermasalah. Dalam perspektif Althusser lewat state apparatus, bahwa pemerintah sedang menjalankan fungsinya sebagai aparatus dalam karidor negara. Dalam tafsir sosiologis, negara seringkali dipahami sebagai ruang pengendalian oleh aparatus. Lebih mengkhawatirkan lagi, sebab pemerintah sebagai aparatus juga ada di bawah pengendalian kesepakatan bersama (terminologi PBB untuk mengikat negara). Dalam kenyataan wajah PBB seringkali dipahami sebagai kepanjangan tangan negara-negara yang punya power. Dalam terminologi Max Weber, Power atau kekuasaan dipahami sebagai kemampuan mengendalikan kelompok lain. Delapan program utama MDGs untuk negara berkembang menunjukkan jika PBB adalah “The Power” bagi negara-negara maju.
Jika kita telisik lebih dalam delapan program MDGs tersebut, menunjukkan bahwa tujuan akhir dari program tersebut sejatinya adalah semakin menempatkan negara berkembang dalam ketergantungan yang akut terhadap negara maju. Contohnya, pengentasan kemiskinan(karena negara berkembang tidak punya uang maka harus berhutang, tentunya kepada negara maju), pemerataan pendidikan dasar (infra struktur pendidikan mau tidak mau harus diimport dari negara maju), Mengurangi tingkat kematian anak (negara memerlukan obat, yang juga harus berinteraksi dengan negara maju), meningkatkan kesehatan ibu (muncul banyak sekali perusahaan farmasi yang nota bene milik negara maju Adanya kapitalisasi kesehatan), dan masih banyak lagi. Delapan program MDGs tersebut juga menunjukkan bahwa “yang jelek-jelek” selalu dilekatkan kepada negara berkembang. Dalam perspektif Fuco, ada oposisi biner antara negara maju dan negara berkembang. Padahal spirit dari oposisi biner pada dasarnya adalah menegasikan atau melawankan. Sebagai contoh ada kaya (negara maju) pasti ada miskin (negara berkembang), ada kulit putih (negara maju) pasti ada kulit berwarna (negara berkembang). Delapan program MDGs tersebut semakin menunjukkan bahwa perspektif Post Kolonialisme justru semakin terkuatkan. Memberi rentang waktu kepada negara berkembang dan harus dipastikan berhasil pada tahun 2015 semakin menunjukkan jika orientasi keberhasilan seringkali susah tercapai. Jika tidak tercapai, legitimasi oposisi biner semakin menemukan muaranya.
Delapan Program MDGs pada dasarnya adalah program yang baik. Dalam pelaksanaannya seharusnya kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah memberi ruang bagi masyarakat untuk memberdayakan dirinya dalam semangat lokalitas. Dengan kata lain MDGs bidang kesehatan harus sebanyak mungkin memproduksi kekuatan lokal dengan semangat bersaing. Dalam banyak kasus yang terjadi justru menghilangkan konteks lokal. Sebagai contoh, mengurangi tingkat kematian anak. Biasanya yang dilakukan oleh pemerintah adalah kebijakan pentingnya pergi ke bidan atau dokter dan jangan lupa beli obat. Padahal di seluruh pelosok desa di Indonesia banyak ahli kesehatan lokal yang cara penanganannya dengan mensinergikan diri dengan kearifan lokal. Seharusnya kebijakan pemerintah memberi ruang intersection antara keinginan pemerintah dan kearifan lokal.
Perspektif Althusser dan Fuco pada dasarnya menyadarkan kepada kita bahwa kita (Indonesia) sejatinya adalah kelompok sosial yang akan menyerap kebaikan dari luar dengan semangat identikasi diri sehingga bisa menarasikan dirinya untuk bisa berdaya.
Penulis: Muhammad Hayat, S.Sos., Dosen Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Jawa Timur