Pendidikan Untuk Semua
Apa Education for All
Pendidikan untuk Semua (education for all atau EFA) merupakan inisiatif internasional yang diluncurkan di Jomtien Thailand pada tahun 1990 untuk membawakan manfaat pendidikan pada seluruh warga negara dan seluruh masyarakat. Perintah ini untuk merealisasikan tujuan, kerjasama seluruh komponen pemerintahan, kelompok-kelompok masyarakat, pengembangan agen-agen pendidikan sebagaimana kesepakatan UNESCO dan Bank Dunia untuk mencapai tujuan-tujuan khusus pendidikan berikut:
- Memperluas dan meningkatkan pelayanan pendidikan anak usia dini serta anak-anak miskin dan cacat;
- Menjamin bahwa pada tahun 2015 seluruh anak, baik laki-laki maupun perempuan, dari manapun asal dan sukunya sudah mendapatkan pelayanan pendidikan dasar yang berkualitas;
- Menjamin seluruh pemuda dan orang dewasa untuk mendapatkan akses yang sama pada program pendidikan dan ketrampilan hidup;
- Untuk meningkatkan kemampuan membaca orang dewasa hingga 50% pada tahun 2015, khususnya perempuan, dan akses yang seimbang pada pendidikan dasar untuk semua secara berkelanjutan;
- Menghilangkan bias gender pada pendidikan dasar`dan menengah pada tahun 2005 dan meningkatkan keseimbangan gender pada tahun 2015, ini difokuskan untuk memberikan kesempatan pendidikan secara penuh dan berimbang;
- Meningkatkan seluruh aspek kualitas pendidikan dan menjamin keunggulan, popularitas, dan keterukuran keluaran pembelajaran, serta bebas buta huruf, buta hitung, dan esensi ketrampilan hidup.
Implikasi pendidikan untuk semua sangatlah beragam, Malaysia misalnya mengembangkan pendidikan dengan tidak meninggalkan aspek budaya lokal, Singapura menyelenggarakan pendidikan yang bersifat integratif seluruh kebijakan nasional, dan Indonesia bagaimana? Lantas Solo bagaimana?
Indonesia Kini
Indonesia mewajibkan pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan untuk semua, dan menjadikannya sebagai tanggungjawab utama pemerintah dalam setiap implementasinya. Pemerintah Indonesia menjadi terdakwa utama bagi masyarakat ketika pendidikan nasional itu gagal.
Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, pemerintah hanya memikul sebagian kewajiban penyenggaraan pendidikan, sementara fokus yang lain untuk berperang dan penguasaan wilayah. Pada era pemerintahan Soekarno, pemerintah memiliki kepedulian pada dunia pendidikan, meskipun fokus pemerintahan pada upaya mempertahankan kemerdekaan. Pada Era Orde Baru, pemerintahan Soeharto memiliki dua kutub masalah bersamaan, (a) angka kelahiran yang luar biasa pada awal tahun tujuh puluhan, yang dikenal dengan istilah populer baby boom, dan (b) diketemukannya beberapa tambang minyak, yang menjadi mesin penghasil uang untuk pembangunan. Pemerintah mengambil kebijakan pendidikan dengan membangun sekolah-sekolah Inpres yang tersebar di berbagai daerah, mengangkat guru-guru, membangun kurikulum secara serampangan yang meninggalkan konsep nation building. Konsep terakhir itulah yang tidak terselesaikan oleh Bung Karno, Suharto, dan sampai sekarang masih merupakan pokok masalah bangsa meskipun usia kita telah mencapai 66 tahun kemerdekaan. Pemerintahan Habibie hingga sekarang nampaknya hanyalah pemerintahan sela, belum ada kebijakan pendidikan untuk semua yang memiliki garis merah terlacak untuk pembangunan bangsa secara integrated.
Ketika era demokrasi langsung dimulai, para kontenstan calon pemimpin bangsa memiliki dagangan politik yang menarik publik pendidikan, seperti pendidikan gratis. Pendidikan gratis itu diangkat sebagai isu lokal dan nasional, yang secara konsep maupun praktis menimbulkan serangkaian permasalahan mendasar yang berdampak negatif pada budaya pendidikan. Kebijakan ini memiliki kekurangan:
- Secara konsep tidak tepat karena dua alasan. Pertama, dari sisi ekonomi teori, masyarakat miskin mestinya pengeluaran masyarakat diutamakan untuk mencukupi kebutuhan dasar secara merata yaitu sandang, pangan, papan. Kebijakan sandang, pangan, dan papan masih berantakan. Kebijakan pangan era Soeharto dilakukan dengan mengorbankan petani sebagai tumbal pembangunan, dan kebijakan jahat itu masih dilangsung sampai sekarang. Para petani miskin dan tidak berdaya itu masih mengalami penderitaan berikutnya yaitu tanahnya yang subur dirampas untuk berbagai proyek. Dampaknya adalah disparitas sosial, mobil dan motor baru berhamburan di jalan, jalan rusak dan macet, pengemis dan gelandangan berkeliaran, perumahan tidak tertata (pating blangkreh). Kedua, sekolah gratis, artinya ada perlawanan teori dimana sekolah yang baik mestinya dibiayai oleh masyarakat dan sekolah yang jelek disubsidi oleh pemerintah, sehingga ada celah partisipasi pendidikan dan ada prioritas pembangunan. Sementara sekolah gratis ini sekolahnya orang kaya diberi kucuran yang lebih besar ketimbang sekolah yang jelek. Konsep pembangunan itu nampaknya sama rata dan sama saja.
- Dalam pelaksanaannya tidak realitis. Sekolah gratis memicu pengalihan pembiayaan di tingkat sekolah, artinya pelaporan yang dilakukan tidak sebagaimana yang dilaksanakan, sehingga kontek pembiayaan fiktif terjadi secara terstruktur. Ini kan pembelajaran ketidak jujuran oleh pendidik dan lembaga pendidikan. Jangka panjang efek negatifnya akan luar biasa.
- Apa yang dipikirkan pemegang kendali pendidikan daerah. Para kepala sekolah tidak memikirkan pendidikan yang excellent tetapi dipusingkan oleh suatu pertanyaan “apakah sekolah saya besok mendapatkan siswa atau tidak”, sehingga beberapa sekolah harus melakukan “ngijo” (ini larangan agama), siswa kelas tiga yang belum jelas lulus atau tidak (kita tidak punya SOP tes yang baik sebab seluruh peserta ujian dinyatakan lulus, bupati pun ikut-ikutan main) sudah dinyatakan diterima di sekolah atasnya. Ini benar-benar pendidikan yang sangat menyalahi teori evaluasi mendidik.
- Apa yang dipikirkan guru. Otonomi daerah melahirkan dua hal pada guru, pertama guru sangat senang karena mendapatkan tunjangan serifikasi, hasil sertifikasi guru antara lain banyaknya avanza dan zenia lalu lalang di jalanan, jalanan di macet, dan antrian haji menjadi lama. Kedua, guru mengalami stress berat ketika bupati dan walikota memiliki kewenangan penempatan guru, bagaimana tidak, kalau ada`guru berprestasi dipindahtugaskan menjadi penjaga makam, atau dipindahtugaskan ke sekolah yang sangat jauh dari rumah. Sehingga biaya waktu tempuh, biaya uang, dan biaya kedisiplinan menjadi mahal dan akan melahirkan budaya molor dari yang budaya karet.
- Kebijakan ini tidak terintegrasikan secara baik sehingga bersifat parsial. Kita harus belajar dari negara tetangga, bagaimanapun pendidikan untuk semua harus melibatkan berbagai pihak. Di Singapura, keluarga harus tinggal dekat pekerjaan, ibu rumah tangga hanyalah membantu, sekolah anak tidak boleh jauh dari tempat tinggalnya, dan kalau ada ibu lupa mengantarkan anaknya ke sekolah dikenakan hukuman, dst.
Kasus di Solo
Apakah masyarakat Solo, sebagai kota yang memiliki budaya tua di Indonesia, menyelenggarakan pendidikan untuk semua, apakah warga masyarakatnya mendapatkan pelayanan pendidikan sebagai haknya, apakah para birokrat pendidikan bekerja menurut apa yang terbaik untuk muridnya, kita cermati dua kasus berikut.
Kasus 1. Sebagaimana diungkapkan Solo, CyberNews: “ bahwa upaya sekolah meningkatkan ranking sekolah dengan mendongkrak kelulusan, salah satunya adalah memanipulasi nilai rapor seperi yang terkuak di sekolah favorit di Solo, menjadi indikasi rapuhnya sistem pendidikan yang diterapkan. .....artinya pendidikan belum mampu menjadi wadah pembentukan manusia berkarakter........”.
Kasus 2. Ichwan Dardiri, menanggapi peraturan baru mengenai kuota murid pada sekolah-sekolah negeri dan swasta, peserta Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) online yang ada di Kota Surakarta dikhawatirkan sekolah yang lokasinya terletak di pinggiran kota Solo akan mengalami kekurangan murid......”
Dua informasi itu mengindikasikan betapa sekolah tidak memikirkan kepentingan belajar siswa, tetapi memikirkan formalitas prestasi sekolah dan sisi lain para pejabat juga memikirkan kelangsungan sekolahnya bukannya memikirkan apa yang terbaik bagi siswanya.
Bagaimana Seharusnya Kita
Sebagai bangsa besar, kita harus segera bangun untuk mempelajari perubahan yang cepat, mengganti haluan, serta memberikan kesempatan pendidikan untuk semua secara terencana, berkesinambungan, dan terintegrasikan pada kebijakan pembangunan nasional secara utuh. Sehingga penyelenggaraan pendidikan untuk semua bisa difokuskan kembali pada apa yang terbaik menurut siswa.
Penulis: Prof. Dr. Harsono, M.S., Dosen Pascasarjana UMS Surakarta
Tulisan ini diambil dari Kolom Fokus Buletin Bergetar Edisi 192 (Edisi Khusus EFA), diterbitkan atas kerjasama YIS dan Education Network for Justice Indonesia