Pluralisme, Toleransi, dan Demokrasi dalam Budaya Indonesia
Kolom Opini Bergetar Edisi 191 (Edisi Khusus Pendidikan Perdamaian)
Istilah pluralisme sudah menjadi wacana umum nasional kita, namun dalam masyarakat ada tanda-tanda bahwa orang memahami pluralisme hanya sepintas lalu, tanpa makna yang lebih mendalam, tidak berakar dalam ajaran kebenaran. Paham kemajemukan masyarakat atau pluralisme tidak hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk, tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan itu sebagai hal yang bernilai positif dan rahmat Tuhan kepada manusia. Karena hal itu akan memperkaya pertumbuhan budaya melalui interaksi yang dinamis dan pertukaran silang budaya yang beraneka ragam.
Pluralisme adalah suatu perangkat untuk mendorong pengayaan budaya bangsa, maka budaya Indonesia atau ke-Indonesiaan tidak lain adalah hasil interaksi yang kaya (resourcefull) dan dinamis antara pelaku budaya yang beraneka ragam itu dalam suatu melting pot yang efektif seperti diperankan oleh kota-kota besar di Indonesia. Jadi pluralisme tidak dapat dipahami dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambar fragmentasi bukan pluralisme.
Pluralisme tidak boleh dipahami sekedar sebagai kebaikan negatif (negative good) yang hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme, tetapi pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of divercities within the bond of civility). Bahkan, pluralisme adalah suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan antara sesama manusia guna memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan yang melimpah kepada umat manusia.
Pluralisme dan Toleransi
Prinsip pluralisme sama juga persoalannya dengan prinsip toleransi. Ada banyak indikasi bahwa masyarakat hanya memahaminya secara sepintas lalu, sehingga toleransi menjadi seperti tidak lebih pada persoalan tata cara pergaulan yang ‘enak’ antara berbagai kelompok yang berbeda-beda. Padahal toleransi adalah persoalan prinsip, tidak sekedar prosedur.
Toleransi adalah persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi menghasilkan adat dan tata cara pergaulan yang enak antara berbagai kelompok yang berbeda-beda, maka hasil itu harus dipahami sebagai ‘hikmah dan manfaat’ dari pelaksanaan suatu ajaran yang benar. Hikmah atau manfaat itu adalah sekunder nilainya sedangkan yang primer adalah ajaran itu sendiri. Toleransi harus kita laksanakan dan wujudkan dalam masyarakat, sekalipun untuk kelompok tertentu, bisa jadi untuk diri kita sendiri, pelaksanaan toleransi secara konsekuen itu mungkin tidak menghasilkan sesuatu yang enak. Logika pandangan ‘tidak enak’ ini ialah akibat pelaksanaan suatu kebenaran hanya terjadi dalam dimensi terbatas, berjangka pendek, sedangkan kebaikan yang dihasilkan oleh pelaksanaan suatu kebenaran selalu berdimensi sangat luas, berjangka panjang, bahkan abadi, sama halnya dengan akibat buruk pelanggaran terhadap kebenaran itu yang juga berjangka panjang, dan mungki abadi.
Dalam sejarah, paham toleransi di Eropa dimulai oleh Undang-Undang Toleransi 1689 (The Tolaration Act of 1689) di Inggris. Toleransi Inggris itu hanya berlaku dan diterapkan terhadap berbagai pecahan intern Gereja Anglikan saja, sementara paham Katolik dan Unitarianisme tetap dipandang tidak legal. Di abad 18, toleransi dikembangkan sebagai akibat ketidakpedulian orang terhadap agama, bukan karena keyakinan terhadap nilai toleransi itu sendiri. Apalagi saat Revolusi Perancis, kebencian terhadap agama sedemikian berkobar-kobar, maka yang muncul tidak saja sikap tidak peduli kepada agama, tetapi kebenciannya yang meluap-luap. Hal ini tercermin dalam ungkapan Diderot, bahwa agama dengan segala lembaga dan pranatanya adalah sumber kebobrokan masyarakat, dengan ciri utama tidak adanya sama sekali toleransi. Akibatnya toleransi hanya dikembangkan hanya satu cara/prosedur agar manusia dapat menyingkir dari agama, atau agama menyingkir dari manusia. Itulah sebabnya di Barat ada keengganan besar sekali untuk menjadikan agama sebagai tempat mencari rujukan otentifikasi dan validasi pandangan hidup sosial-politik yang diperlukan masyarakat.
Pluralisme dan Demokrasi
Gerakan reformasi di Indonesia pada saat ini telah mulai menginjak tahap ledakan partisipasi, setelah melewati tahap pertama yaitu fragmentasi sosial-politik yang memuncak pada lengsernya pak Harto. Ledakan partisipasi ini bernilai positif, karena justru inti demokrasi adalah partisipasi umum (universal participation). Tetapi harus dijaga, jangan sampai suatu ledakan menjadi destruktif karena tidak terkendali. Dengan begitu, kita akan maju dengan proses-proses demokratisasi sebagai agenda paling pokok dan menyeluruh dalam gerakan reformasi. Pelaksanaan demokrasi membutuhkan pemerintahan yang teratur dan mengedepankan penegakkan supremasi hukum (rule of law), sedangkan penegakkan rule of law tidak mungkin bisa terwujud kalau pemerintahannya tidak demokratis.
Pemberdayaan masyarakat Indonesia dengan konsep perwujudan masyarakat madani (Pluralisme-Toleransi-Demokratis) harus dilakukan secara bersama-sama dari berbagai elemen entitas komunitas masyarakat yang pluralisme, tidak terkooptasi dengan fragmentasi sosial-politik dan kepentingan tertentu. Pentingnya kesadaran kemajemukan dan pluralisme sebagai entitas budaya bangsa menghendaki tanggapan yang positif terhadap kenyataan kemajemukan itu sendiri secara aktif. Seseorang dapat menyesuaikan diri kepada cara hidup demokratis, jika ia mampu mendisiplinkan dirinya kea rah jenis persatuan dan kesatuan yang diperoleh melalui penggunaan secara kreatif dinamika dan segi-segi positif kemajemuka. Masyarakat yang berpegang teguh kepada pandangan demokratis harus dengan sendirinya juga berpegang teguh memelihara dan melindungi lingkup keanekaragaman yang luas dengan moral pribadi yang tinggi.
Semangat musyawarah dalam perwujudan demokrasi masyarakat madani menuntut kesediaan untuk menerima dengan tulus kemungkinan terjadinya ‘partial functionoring of idea’ yaitu prinsip bahwa dalam demokrasi belum tentu, atau tidak harus seluruh keinginan atau pikiran kita akan diterima dan dilaksanakan sepenuhnya. Salah satu check list semangat ini adalah seberapa jauh kita dewasa dalam mengemukakan pendapat, menerima perbedaan pendapat, dan kemungkinan mengambil perbedaan yang lebih baik. Pemufakatan yang jujur dan sehat adalah hasil musyawarah yang jujur dan sehat pula.
Para anggota masyarakat demokratis dituntut untuk menguasai dan menjalankan seni permusyawaratan yang jujur dan sehat. Pemufakatan yang dicapai melalui engineering, manipulasi, atau taktik-taktik yang sesungguhnya hanya sebuah konspirasi, bukan saja merupakan pemufakatan yang curang dan cacat, malah merupakan penghianatan langsung kepada nilai dan semangat demokrasi. Karena itu faktor ketulusan dalam usaha bersama mewujudkan tatanan sosial yang baik dan hal yang sangat pokok dalam masyarakat madani. Faktor ketulusan mengandung makna pembebasan diri dari vested interest yang sempit, termasuk egoisme politik.
Kerjasama dan sikap antar warga masyarakat yang saling memercayai itikad baik masing-masing, kemudian menjalin dukungan secara fungsional antar berbagai unsur kelembagaan kemasyarakatan merupakan segi penunjang demokrasi masyarakat madani. Masyarakat yang terkotak-kotak dengan masing-masing penuh curiga kepada lainnya, bukan saja mengakibatkan tidak efisiennya cara hidup demokrasi, tetapi juga menjurus kepada lahirnya pola tingkah laku yang bertentangan dengan nilai-nilai asasi demokrasi. Pengakuan akan kebebasan nurani, persamaan hak dan kewajiban bagi semua (egalitarisme) dan tingkah laku penuh percaya kepada itikad baik orang dan kelompok lain, mengharuskan adanya landasan pandangan kemanusiaan positif dan optimis.
Disarikan dari makalah Lokakarya Pembangunan Perdamaian pada 9 Februari 2011 di Kabupaten Konawe, Sultra dengan judul “Demokrasi Civil Society dan Masyarakat Madani dalam Budaya Indonesia” oleh: Dr. Ir. Rayuddin, MP, Dosen Fakultas Pertanian Universitas Lakidende